Diantara kita jarang sekali ada yang mengetahui asal mula aksara
Djawa. Jangankan asal mulanya, bentuk tulisannya saja diantara kita pasti tidak
tahu. Apalagi makna yang terkandung di dalamnya. Memang aksara Djawa ini bukan
menjadi bahasa (tulisan) wajib negara kita. Para Pemuda-Pemudi telah
mengikrarkan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Tetapi setidaknya sebagai
bangsa yang baik, kita bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Djawa tidak
melupakan sejarah peninggalan Leluhur terdahulu.
Beranjak dari keadaan tersebut di atas maka Penulis hendak mengingatkan kembali, aksara (huruf) Djawa yang sudah mulai punah dan terlupakan. Di sini Penulis tidak bermaksud membawa kepentingan SARA atau Golongan (Djawa). Seperti yang telah dikemukakan di atas, Penulis hanya ingin mengingatkan kembali sejarah peninggalan Leluhur terdahulu. Sehingga muncul halaman ini, mari kita simak dan ingat kembali asal usul aksara (huruf) Djawa terlebih dahulu.
Cerita ini berawal dari seorang Raja yang mempunyai dua orang murid. Raja ini bernama Prabu Aji Saka, dengan dua orang muridnya bernama Duro dan Sembodro. Salah satu muridnya yang bernama Duro ditugaskan oleh Prabu Aji Saka untuk menjaga pusaka kerajaan. Nama pusaka kerajaan tersebut adalah Sarutama, dalam cerita Djawa berarti Hina tetapi utama (Saru-Utama). Saat itu Prabu Aji Saka berpesan “Siapapun tidak dapat mengambil Pusaka Sarutama, kecuali Prabu Aji Saka sendiri”. Pusaka Sarutama ini dipercayakan kepada Duro.
Prabu Aji Saka pada saat itu berangkat perang, namun ditengah-tengan peperangan Prabu Aji Saka mengalami kesulitan. Sehingga Prabu Aji Saka memerlukan pusaka Sarutama. Prabu Aji Saka pun menugaskan Sembodro yang mendampinginya di medan perang, untuk mengambil pusaka Sarutama di kerajaan. Sembodro pun pulang kembali dengan maksud mengambil pusaka Sarutama. Sesampainya kembali di kerajaan, Sembodro meminta Duro untuk menyerahkan pusaka Sarutama kepadanya. Tetapi karena Duro sudah diberi amanat oleh Prabu Aji Saka guru mereka untuk tidak menyerahkan pusaka sarutama kepada siapapun kecuali kepada Prabu Aji Saka, maka Duro menolak untuk menyerahkan pusaka saru tama tersebut. Sembodro pun mendapat amanat untuk mengambil pusaka Sarutama tersebut. Akhirnya Sembodro tetap memaksa Duro untuk mnyerahkan pusaka Sarutama tersebut. Karena sama-sama mendapat amanat (pesan) dari Prabu Aji Saka, merekapun berusaha mejalankan amanat masing-masing. Merekapun bertempur untuk menjalankan amanat mereka. Pertempuran sesama murid kepercayaan Prabu Aji Saka ini berlangsung sengit. Hingga akhirnya mererka mati (gugur) demi menjalankan amanat mereka dari Prabu Aji Saka. Keadaan mereka disaat mati saling rangkul/pangku (mati sampyuh, Djawa).
Kita dapat mengambil inti sari makna dari cerita di atas. Bahwa masyarakat Djawa memiliki sifat yang luhur, setia dan taat, serta rela berkorban mati-matian demi mengemban amanat. Satu lagi sifat masyarakat Djawa, masyarakat Djawa akan marah apabila kita memposisikan diri kita di atas mereka. Tetapi mereka akan mati (luluh hatinya) kalau kita memposisikan diri di bawah (dipangku) mereka. Itu mengapa akhirnya di dalam aksara Djawa bila di akhir huruf dipangku akan mati.
Beranjak dari keadaan tersebut di atas maka Penulis hendak mengingatkan kembali, aksara (huruf) Djawa yang sudah mulai punah dan terlupakan. Di sini Penulis tidak bermaksud membawa kepentingan SARA atau Golongan (Djawa). Seperti yang telah dikemukakan di atas, Penulis hanya ingin mengingatkan kembali sejarah peninggalan Leluhur terdahulu. Sehingga muncul halaman ini, mari kita simak dan ingat kembali asal usul aksara (huruf) Djawa terlebih dahulu.
Cerita ini berawal dari seorang Raja yang mempunyai dua orang murid. Raja ini bernama Prabu Aji Saka, dengan dua orang muridnya bernama Duro dan Sembodro. Salah satu muridnya yang bernama Duro ditugaskan oleh Prabu Aji Saka untuk menjaga pusaka kerajaan. Nama pusaka kerajaan tersebut adalah Sarutama, dalam cerita Djawa berarti Hina tetapi utama (Saru-Utama). Saat itu Prabu Aji Saka berpesan “Siapapun tidak dapat mengambil Pusaka Sarutama, kecuali Prabu Aji Saka sendiri”. Pusaka Sarutama ini dipercayakan kepada Duro.
Prabu Aji Saka pada saat itu berangkat perang, namun ditengah-tengan peperangan Prabu Aji Saka mengalami kesulitan. Sehingga Prabu Aji Saka memerlukan pusaka Sarutama. Prabu Aji Saka pun menugaskan Sembodro yang mendampinginya di medan perang, untuk mengambil pusaka Sarutama di kerajaan. Sembodro pun pulang kembali dengan maksud mengambil pusaka Sarutama. Sesampainya kembali di kerajaan, Sembodro meminta Duro untuk menyerahkan pusaka Sarutama kepadanya. Tetapi karena Duro sudah diberi amanat oleh Prabu Aji Saka guru mereka untuk tidak menyerahkan pusaka sarutama kepada siapapun kecuali kepada Prabu Aji Saka, maka Duro menolak untuk menyerahkan pusaka saru tama tersebut. Sembodro pun mendapat amanat untuk mengambil pusaka Sarutama tersebut. Akhirnya Sembodro tetap memaksa Duro untuk mnyerahkan pusaka Sarutama tersebut. Karena sama-sama mendapat amanat (pesan) dari Prabu Aji Saka, merekapun berusaha mejalankan amanat masing-masing. Merekapun bertempur untuk menjalankan amanat mereka. Pertempuran sesama murid kepercayaan Prabu Aji Saka ini berlangsung sengit. Hingga akhirnya mererka mati (gugur) demi menjalankan amanat mereka dari Prabu Aji Saka. Keadaan mereka disaat mati saling rangkul/pangku (mati sampyuh, Djawa).
Kita dapat mengambil inti sari makna dari cerita di atas. Bahwa masyarakat Djawa memiliki sifat yang luhur, setia dan taat, serta rela berkorban mati-matian demi mengemban amanat. Satu lagi sifat masyarakat Djawa, masyarakat Djawa akan marah apabila kita memposisikan diri kita di atas mereka. Tetapi mereka akan mati (luluh hatinya) kalau kita memposisikan diri di bawah (dipangku) mereka. Itu mengapa akhirnya di dalam aksara Djawa bila di akhir huruf dipangku akan mati.
KISAH AJISAKA
Jaman dulu, di Pulau Majethi, hidup seorang satria
bernama Ajisaka. Selain ganteng, Ajisaka juga punya ilmu tinggi dan sakti.
Ajisaka punya dua orang punggawa bernama Dora san Sembada. Dua orang itu sangat
setia dan nurut sama Ajisaka. Suatu hari, Ajisaka ingin pergi berkelana,
bertualang meninggalkan Pulau Majethi. Dora pergi menemani Ajisaka sedangkan
Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi karena Ajisaka memerintahkan Sembada
untuk menjaga pusaka Ajisaka yg paling sakti. Ajisaka berpesan pada Sembada
bahwa Sembada ga boleh menyerahkan pusaka itu kepada siapapun kecuali Ajisaka.
Nah, pada waktu itu di Jawa ada negara yang terkenal
makmur, aman, dan damai, yang berjudul Medhangkamulan. Negara itu dipimpin oleh
Prabu Dewatacengkar, raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Seuatu hari, juru
masak kerajaan tidak sengaja memotong jarinya waktu masak. Juru masak itu ga sadar
bahwa potongan jarinya masuk ke hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Raja.
Tanpa sengaja juga, jari itu termakan oleh Prabu Dewatacengkar. Ga disangka,
Prabu Dewatacengkar merasa daging yang dia makan sangat lezat, kemudian ia
mengutus patihnya menanyai juru masak kerajaan. Ternyata kemudian diketahui
bahwa yang tadi dimakan oleh Prabu Dewatacengkar adalah daging manusia, ia
memerintahkan kepada patihnya untuk menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap
setiap harinya. Sejak itu Prabu Dewatacengkar punya hobi baru, yaitu makan
danging manusia. Wataknya berubah jadi jahat dan senang melihat orang
menderita. Negara itu berubah jadi negara yang sepi karena satu per satu
rakyatnya dimakan oleh rajanya, ada juga rakyat yang lari menyelamatkan diri. Sang
Patih bingung, karena ga ada lagi rakyat yang bisa disuguhkan kepada rajanya.
Saat itulah Ajisaka bersama Dora sampe di
Medhangkamulan. Ajisaka heran melihat keadaan negara yang sunyi dan menyeramkan
itu, kemudian ia mencari tahu sebabnya. Setelah tau apa yang terjadi di
Medhangkamulan. Ajisaka lalu menghadap Patih, menyatakan bahwa ia sanggup
menjadi santapan Sang Raja. Awalnya Sang Patih tidak mengijinkan Ajisaka yang
masih muda dan (ehem..) ganteng jadi santapan Prabu Dewatacengkar, tapi Ajisaka
tetep maksa sampe akhirnya dia dibawa juga untuk menghadap Prabu Dwatacengkar.
Sang Prabu juga heran, kenapa orang yang masih muda dan tampan mau-mau aja jadi
santapannya. Ajisaka mengajukan syarat, dia rela dimakan Sang Prabu asal dia
dihadiahi tanah seluas ikat kepalanya. Selain itu, Ajisaka juga minta Prabu
Dewatacengkar sendiri yang mengukur tanah tersebut. Permintaan itu dikabulkan
oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu Dewatacengkar menarik salah
satu ujung ikat kepalanya. Ajaibnya, ikat kepala itu mulur terus kayak ga ada
habisnya. Prabu Dewatacengkar terpaksa mundur dan mundur terus mengikuti ikat
kepala itu sampe di tepi laut selatan. Ajisaka mengibaska ikat kepala tersebut,
hal ini membuat Prabu Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewatacengkar
lalu berubah menjadi buaya putih, sedangkan Ajisaka menjadi raja di
Medhangkamulan.
Setelah jadi raja, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke
Pulao Majethi untuk ngambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Sampe di Pulau
Majethi, Dora menjelaskan pada Sembada bahwa dia datang atas perintah Ajisaka
untuk mengambil pusaka yang dijaga Sembada. Sembada yang patuh pada pesan
Ajisaka ga mau ngasih pusaka itu ke Dora. Dora memaksa agar pusaka itu
diserahkan ke dia. Akhirnya dua orang itu bertarung. Karena dua-duanya
sama-sama sakti, pertarungan berlangsung seru sampai mereka berdua tewas.
Prabu Ajisaka mendengar kabar kematian Dora san
Sembada. Dia menyesal mengingat kelalaiannya dan kesetiaan Dora dan Sembada.
Untuk mengabadkan dua punggawanya itu Ajisaka menciptakan sebuah aksara yang
bunyinya :
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
0 komentar:
Posting Komentar